PENTINGKAH MENGHAFAL AL QURAN?
Oleh: Ade Hanafi Abu Raudha, S. Pd. I
Staff Pengajar al Quran LKP TARQI
Al-Quran sebagai Kalam Allah yang berisi petunjuk dengan segala
kesempurnaannya untuk meraih kemaslahatan hidup yang hakiki di akhirat nanti
disertai kecintaan dan keridlaan Ilahi, bahkan Allah dan Rasul-Nya, sejak awal
telah menetapkan berbagai keutamaan yang akan diberikan bagi mereka yang senantiasa menjalin hubungan
dan berinteraksi dengannya, dan salah satu interaksinya yang utama adalah
menghafalkannya (hifzhul Quran). Sebut saja hadis Rasul yang mengatakan ,”bacalah
al-Quran karena ia (al-Quran) pada hari kiamat nanti akan datang untuk
memberikan syafa’at (menjadi penolong) bagi para sahabatnya. (HR Muslim).
Sahabat maksudnya adalah orang yang sangat dekat dan akrab, rela berkorban
tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa sekalipun untuk seseorang yang dicintainya.
Sahabat al-Quran berarti mereka yang memprioritaskan al-Quran sebagai objek
utama untuk mengisi kehidupannya dengan penuh pengorbanan dan kecintaan.
Keakraban itu ditunjukkan dengan berusaha mempersatukan al-Quran dengan hati
dan pikiran, bacaan dan amalan, dakwah dan tindakan melalui kebersamaan yang
tidak dapat dilepaskan yaitu dengan menghafalkan al-Quran dan orang yang berusaha
menjalin kebersamaan dengan al-Quran yakin bahwa ia akan meraup berbagai
‘keuntungan’, duniawi dan ukhrawi.
Melibatkan diri dalam proyek Allah Swt.
Hifzhul Quran yang sering
diartikan menghafal al-Quran terambil dari kata ( حفظ)hifzh .
Kata ini memiliki makna menjaga atau memelihara. Berkaitan dengan al-Quran, Allah Swt
berfirman :
إنا نحن
نزلنا الذكر وإنا له لحافظون (سورة الحجر : 9)
Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan adz-dzikr (al-Quran) dan
sesungguhnya Kami pula baginya benar-benar para pemelihara.
Seringkali
Allah menggunakan kata ganti yang menunjuk diri-Nya dengan kata ‘Kami’,
memiliki kesan makna yang beragam. Quraish Shihab menjelaskan dalam kajian
tafsirnya, Al-Mishbah,. Diantara makna penggunaan kata Kami yang merujuk kepada
Allah Swt ini mengisyaratkan adanya keterlibatan pihak lainnya sebagai suatu
sunnah yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Dalam hal ini, al-Quran adalah wahyu
yang merupakan kalam (perkataan) Allah Swt diturunkan oleh-Nya kepada Muhammad
Saw sebagai mukjizat abadi yang berfungsi sebagai ‘huda’, namun dalam proses
turunnya al-Quran, Allah melibatkan malaikat Jibril AS sebagai penyampai wahyu
kepada Rasulullah Saw, maka kata yang digunakan adalah “Kami yang telah
menurunkan al-Quran” sehingga isyarat makna yang ditunjukkan kalimat tersebut
adalah Aku yang telah menurunkan al-Quran kepada Muhammad Saw melalui perantara
Jibril atas perintah dari-Ku. Kalimat berikutnya, “ dan sesungguhnya Kami
baginya (al-Quran)benar-benar para pemelihara.” Kalimat tersebut masih
menggunakan kata ‘Kami’ dengan pengertian di atas. “Para pemelihara”, adalah
ungkapan dalam bentuk jamak karena begitulah yang dilihat dari asal katanya (لحافظون
) lahafizhuna yang merupakan bentuk jamak dari tunggalnya (حافظ
) hafizh yang berarti seorang penjaga atau pemelihara. Isyarat makna dalam
bentuk jamak ini mengesankan keterlibatan kaum muslimin dalam pemeliharaan
al-Quran atau dengan kata lain Allah melibatkan juga mereka untuk menjaga dan memeliharanya. Jika
dikaitkan dengan QS. Fathir (35) : 32, mereka yang memelihara dan menjaga
al-Quran adalah hamba-hamba pilihan Allah Swt.
Kandungan QS. Al-Hijr (15) : 9
Berdasarkan uraian di atas, beberapa hal yang perlu direnungi dari ayat
tersebut adalah sebagai berikut: pertama, Allah menegaskan bahwa
pemeliharaan al-Quran berada dalam jaminan-Nya, dengan menggunakan kata ganti
yang menyandarkan pelaku pemeliharaan tersebut kembali kepada diri-Nya dengan
segala kekuasaan dan kemahaan-Nya membuat setiap orang yang berinteraksi dengan
al-Quran yakin dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya dan terjaga dari
penyimpangan serta penyelewengan dari upaya tangan-tangan jahil musuh-musuh
Allah . Terlebih lagi Allah Swt menegaskan ungkapannya dengan dua kata
penegasan (إنا ) Inna, sesungguhnya Kami dan lam
pada (لحافظون ) yang menegaskan makna kesungguhan dalam arti
‘benar-benar’ sehingga kalimat tersebut diartikan “dan sesungguhnya Kami
benar-benar baginya para pemelihara,” ungkapan ini menguatkan janji
Allah yang pasti ditepati sehingga tidak ada lagi tempat untuk ragu di hati
kaum muslimin. Seberapa besarpun usaha para musuh Islam untuk menghadang dan
menghancurkan al-Quran, Allah akan tetap memeliharanya walau tanpa dukungan
kaum muslimin sekalipun karena kehendak Allah jauh melebihi
makhluk-makhluk-Nya.
Kedua, kemahakuasaan
Allah yang telah menyandarkan pemeliharaan al-Quran terhadap diri-Nya sebagai ‘proyek’ Allah
menegaskan bahwa Dia tidak membutuhkan sedikitpun bantuan dari makhluk-Nya yang
serba lemah, sedikitnya orang-orang yang memelihara atau menghafal al-Quran
tidak akan mengurangi kemuliaan-Nya sebab ia yang maha Mulia, banyaknya
orang-orang yang mengabaikan al-Quran tidak menyebabkan ia rugi dan terhina
sebab ia yang maha Kaya dan Terpuji bahkan al-Quran akan tetap terjaga dan
terpelihara sesuai dengan janji-Nya, dan setiap muslim harus meyakininya sebab
keyakinan ini merupakan bagian dari kesempurnaan iman kepada-Nya, Kitab-Nya
serta seluruh aspek yang berkaitan dengan-Nya.
Ketiga, Kehendak-Nya
jauh melebihi makhluk-makhluk-Nya, kuat, kokoh dan tak
tergoyahkan. Kalau sekiranya Dia menghendaki al-Quran tetap terpelihara tanpa
peran makhluk-Nya maka itulah yang akan terjadi, namun Allah hendak menebarkan
kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya dengan memilih mereka untuk berperan dalam
penjagaan dan pemeliharaan al-Quran, dan ini pun terjadi atas kehendak-Nya.
Beruntunglah orang-orang yang menempatkan dirinya dalam program menghafal
al-Quran, berarti ia ikut terlibat dalam
proyek Allah yang besar ini. Merekalah
yang termasuk orang-orang yang dilibatkan oleh Allah dalam ayat di atas dengan
ungkapan kata “ dan Kami pula baginya (al-Quran) para pemelihara.”Ini
berarti Allah menghendaki mereka untuk terlibat dalam penjagaan dan
pemeliharaan al-Quran sebagai wujud cinta dan kasih sayang-Nya kepada
hamba-hamba-Nya agar dapat merasakan keutamaan-keutamaan al-Quran yang hendak
Allah anugerahkan kepada mereka. Tidak heran jika Rasulullah memanggil mereka
dengan sebutan keluarga Allah di bumi. Tidakkah kita tertarik untuk menjadi para
penghafal al-Quran karena ia merupakan bagian dari keluarga Allah Swt di muka
bumi ini, karena mereka disebut sebagai keluarga Allah maka Allah pun akan
menjaga segala kemaslahatannya di dunia dan akhirat nanti.
Kenapa harus dengan menghafal al-Quran?
Beinteraksi dengan
al-Quran sangat beraneka ragam, kebanyakan para ulama menyimpulkannya dengan
lima macam interaksi, pertama; tahsinu at-tilawah atau membaguskan bacaannya,
kedua; tahfizh atau menghafalkannya, ketiga; tafhim atau
memahaminya, keempat; tathbiq atau mengamalkannya, dan kelima; tabligh dan
dakwah atau menyampaikannya kepada yang lain. Itulah kelima tanggung jawab
setiap muslim terhadap al-Quran.
Fenomena menarik
yang dapat kita tadabburi dalam QS Al-Hijr di atas adalah Allah menyebutkan
al-Quran dengan nama lain yaitu Adz-Dzikr (الذكر
), yang berarti mengingat atau menyebut. Nama lain
dari al-Quran adalah Al-Kitab, An-Nur, As-Syifa, Al-Furqan dan banyak lagi nama
lainnya. Penyebutan dengan Adz-Dizkr bukan tidak ada maksud, nampaknya memiliki
kesan makna lain yang perlu kita tadabburi, bahwa pemeliharaan
al-Quran yang paling efektif adalah dengan cara diingat atau disimpan dalam
memori otak dan apa yang diingat ini menuntut untuk disebutkan atau dibacakan melalui lisan.
Dengan demikian pemeliharaan al-Quran yang dimaksud adalah dengan cara hafalan
dan bacaan. Hafalan yang kuat tanpa meninggalkan satu huruf pun dan ini
tercapai dengan memperbanyak interaksi dengan al-Quran atau melalui pengulangan
yang sering(muraja’ah). Dan hafalan tidak mungkin untuk disimpan dalam otak
saja, minimal ia harus dibacakan untuk dirinya sendiri sebagai ibadah dan
kewajiban lebih lanjut adalah untuk disampaikan kepada yang lainnya dengan cara
membacakannya (tilawah) dan membacakannya pun harus memenuhi standar-standar
baku dalam membaca al-Quran yaitu dengan menerapkan ilmu Tahsin Tilawahnya.
Melestarikan sunnah Rasulullah Saw, mengikuti jejak generasi terbaik.
Al-Quran untuk pertama kali disampaikan kepada Rasulullah Saw dengan
cara diperdengarkan. Jibril As membacakan dihadapannya. Rasulullah Saw menyimak
setiap pesan Allah yang disampaikan dengan seksama dan penuh perhatian kemudian
beliau ikuti bacaan tersebut dengan penuh kehati-hatian setelah selesai
dibacakan oleh pesuruh Allah tersebut . Demikianlah al-Quran sampai kepadanya
dan beliau himpun al-Quran dalam dirinya dengan menghafalkannya. Tanpa menunggu
lama, beliau sampaikan al-Quran kepada para sahabat, dan mereka pun antusias
untuk mendengarkannya dengan penuh perhatian untuk mereka bawa kepada keluarganya kemudian
memerintahkan untuk dihafalkannya. Begitulah kehidupan para sahabat ketika
berinteraksi dengan al-Quran. Beberapa hadis shahih dan atsar sahabat
menceritakan betapa mereka antusias untuk memelihara al-Quran dan kebanyakan
mereka menghimpunnya untuk dihafal. Aktivitas mereka ketika berinteraksi satu
sama lain tidak lepas dari al-Quran. Mereka terkadang saling
membacakan (tasmi’) dalam rangka memperkuat hafalan dan juga memperbaiki
bacaan. Merekalah generasi pertama kaum muslimin sebagai generasi yang terbaik,
sebuah potret kehidupan yang harus menjadi contoh kita dalam memperkuat
hubungan dengan Allah, Rasul-nya, serta membangun kehidupan bermasyarakat
bahkan bernegara dibawah naungan al-Quran.
Apa yang mereka lalukan bukan semata-mata ketaatan terhadap perintah
Allah dan Rasul-Nya, tapi ketaatan itu telah membuahkan hasil sehingga
merasakan interaksi dengan al-Quran menjadi suatu kebutuhan. Berbagai peluang
untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui Kitab-Nya mereka lalukan dengan
penuh antusias dan keseriusan.